Menyembuhkan Diri Lewat Rutinitas Kecil
Menyembuhkan Diri Lewat Rutinitas Kecil
Aku pernah ada di titik itu. Titik di mana membuka mata saja rasanya seperti beban. Bangun tidur bukan karena semangat menyambut hari, tapi karena sudah terlalu lama berbaring dalam kehampaan. Tidak ada gairah, tidak ada tujuan. Yang ada hanya kelelahan emosional yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Banyak orang bilang: "Kalau kamu merasa kosong, coba jalan-jalan."
Tapi ke mana aku harus pergi, jika yang terasa kosong adalah bagian dalam diriku?
Aku tidak mengalami tragedi besar. Tidak ada kematian. Tidak ada putus cinta. Tidak ada kehilangan pekerjaan. Tapi ada sesuatu yang tidak utuh di dalam diriku. Sebuah kehampaan yang pelan-pelan mencuri semangat hidupku tanpa aku sadari.
Dan seperti banyak orang lain yang pernah merasakan hal sama, aku menutupinya. Tersenyum. Bekerja. Balas chat. Update story. Tapi di balik semua itu, aku sedang runtuh perlahan.
_ _ _
Sampai suatu malam, aku menatap langit-langit kamar dan menyadari satu hal yang menggangguku: aku benar-benar lelah. Bukan karena aktivitas, tapi karena kehilangan arah.
Aku tidak bisa mengubah hidupku secara drastis malam itu. Tapi aku bisa memilih satu hal kecil yang bisa kulakukan esok pagi. Hanya satu.
Pilihan jatuh pada sesuatu yang sangat sederhana: membereskan tempat tidur.
Awalnya terasa bodoh. Apa gunanya? Tapi ketika aku benar-benar melakukannya keesokan harinya, ada sedikit—sangat sedikit—rasa puas. Aku menyelesaikan sesuatu. Aku mengawali hari dengan menyelesaikan hal kecil. Dan itu memberi kesan bahwa aku punya kendali, walau hanya sepersekian detik.
Hari berikutnya, aku menambahkan rutinitas baru: menyeduh kopi dan menikmatinya tanpa tergesa-gesa.
Biasanya aku minum sambil buka HP, sambil siap-siap kerja. Tapi kali ini, aku duduk. Diam. Menatap ke luar jendela. Hanya aku dan aromanya yang menenangkan. Itu lima menit yang sangat berarti.
---
Dari situ, rutinitas kecil lainnya tumbuh.
Aku mulai menulis jurnal. Bukan tulisan indah. Kadang cuma satu kalimat: “Aku lelah.” atau “Aku ingin pulang, padahal aku sudah di rumah.”
Tapi menuliskannya terasa seperti mengeluarkan beban dari dalam dada.
Kemudian aku mulai berjalan kaki setiap sore. Tidak jauh. Hanya keliling kompleks. Tapi selama langkah kaki itu menyentuh tanah, aku merasa terhubung kembali dengan dunia nyata. Dengan angin, dengan suara burung, dengan pohon-pohon yang tetap berdiri walau musim berganti.
Aku juga mulai mematikan notifikasi media sosial selama beberapa jam setiap hari. Awalnya gelisah. Tapi lama-lama terasa lega. Karena aku sadar, bukan hanya tubuhku yang lelah—jiwaku pun penuh karena terlalu banyak hal yang sebenarnya tidak perlu.
---
Banyak orang berpikir penyembuhan datang dari peristiwa besar. Retret, meditasi di gunung, liburan panjang, terapi intensif. Dan itu memang bisa membantu. Tapi untuk orang seperti aku yang bahkan bangun pagi saja berat, penyembuhan harus dimulai dari tempat yang lebih kecil. Yang lebih sederhana. Yang bisa kugapai dalam kondisi paling ringkih sekalipun.
Rutinitas-rutinitas kecil itu—membereskan tempat tidur, menyeduh kopi, berjalan kaki, menulis satu kalimat, mematikan notifikasi—mereka bukan hanya aktivitas. Mereka adalah jangkar. Mereka menahanku agar tidak tenggelam sepenuhnya.
Hari demi hari, langkah demi langkah, aku mulai merasa hidup kembali. Bukan dalam arti aku sudah "baik-baik saja". Tapi setidaknya, aku tidak lagi kehilangan arah.
Sekarang, ketika orang bertanya bagaimana caraku melewati masa gelap itu, aku tidak bilang aku jadi hebat, atau sukses besar. Aku hanya bilang:
"Aku mulai dari hal kecil. Dan aku tetap memilih hal kecil itu, setiap hari."
Karena ternyata, untuk sembuh tidak harus terburu-buru.
Kadang, cukup setia pada rutinitas kecil yang sederhana—yang terus kamu lakukan, bahkan ketika dunia di dalam dirimu belum sepenuhnya pulih.